Selasa, 05 Oktober 2010

Pulau Gebe Dan Sejarah Papua


Sejarah Papua Perlu Dikenal
Di Opini dalam Kamis, Oktober 16, 2008 pada 12:00 am
Oleh H. Rosihan Anwar*
Belum lama berselang saya baca buku dalam bahasa Belanda berjudul “Papoea Een Geschiedenis” (2004), tebal 670 halaman, ditulis oleh Dirk Vlasbom yang sejak tahun 1990 menjadi koresponden surat kabar NRC Handelsblad di Jakarta. (Kabarnya, edisi Indonesia buku Vlasbom sedang dipersiapkan penerbitannya oleh Yayasan Obor Indonesia, red.).

Untuk pertama kali Dirk sebagai wartawan mengunjungi Irian Jaya tahun 1991. Ia tertarik oleh apa yang dilihatnya dan didengarnya. Ia berkunjung kembali dan kembali. Sepuluh tahun lamanya. Akhirnya ia tuliskan bahan-bahan yang ditemukannya. Tahun 2004 terbitlah buku itu. Di sampul belakang tertera “Dengan karya sangat bagus ini pengarang menghadiahkan kepada orang-orang Papua sejarah mereka.”
Yang tidak saya tahu dan karena itu menarik ialah cerita berikut. Bulan Juni 1938 sebuah ekspedisi kapal terbang Amerika-Belanda yang dibiayai oleh miliuner Amerika Richard Archbold menemukan secara kebetulan lembah Baliem yang berpenduduk padat. Pengambilan gambar dari udara menunjukkan rumah kediaman, kebun, ruangan berpagar tempat memelihara babi dari penduduk yang berjumlah kl. 150.000 jiwa. Penemuan itu berdampak besar atas pemerintah Hindia Belanda. Akibatnya, Belanda meningkatkan aktivitas penjelajahan dan patroli. Bayangkan, barulah tiga tahun sebelum tamat riwayat kolonialisme di Hindia Belanda tersingkap adanya lembah Baliem dan penduduknya.
Banyak nama orang Papua disebutkan dalam buku ini. Misalnya, nama Frans Kaisiepo. Saya mengenalnya di Konferensi Malino bulan Juli 1946. Belanda mengirim Frans ke konferensi yang digelar oleh Letnan Gubernur Jenderal Van Mook itu sebagai wakil Nieuw Guinea. Belanda mengundang saya sebagai wartawan surat kabar Merdeka. Frans mengusulkan supaya sebutan Papua diganti, karena di daerahnya yakni di Biak perkataan Papua identik dengan “bodoh, malas, kotor”.
Papua diperlakukan oleh Kesultanan Tidore yang berabad lamanya menguasai bagian utara Nieuw Guinea sebagai budak. Frans minta agar Nieuw Guinea diganti menjadi Irian yang berarti “negeri yang panas hawanya.” Mulanya Belanda hendak mengirim Silas Papare ke konferensi Malino. Karena Silas sangat benci kepada “amberi,” yakni orang bukan-Nieuw Guinea seperti orang Maluku, maka sebagai penggantinya muncul Frans Kaisiepo. Silas termasuk golongan “Papua Merah-Putih.”
Tanggal 29 November 1946, di Serui Silas mendirikan Partai Kemerdekaan Indonesia Irian (PKII) yang akan berjuang untuk kemerdekaan Indonesia di Irian. Kemudian Silas pergi ke Jawa. Presiden Soekarno mengangkat Silas Papare sebagai anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS). Di depan sidang MPRS dia berpidato tanggal 12 Maret 1967 mengenai pemboman desa-desa sekitar Monokwari oleh TNI, karena rakyat Irian memberontak, tapi menurut Silas rakyat melawan karena penderitaan ekonomi dan tidak ada hubungan dengan politik. “Kami orang-orang Papua hanya menghendaki kehidupan yang lebih baik,” ujar Silas Papare.
J.A. Dimara adalah putra Irian yang memimpin 35 sukarelawan yang mendarat di Teluk Etna 22 Oktober 1954. Waktu itu soal Irian Barat merupakan sengketa antara Republik Indonesia dengan Belanda. Di mara beserta kaum infiltran yang menyertainya bersembunyi di hutan ketika dikejar oleh marinir Belanda. Setelah beberapa bulan Dimara yang hanya tinggal punya dua orang pengikut menyerah di pos Belanda. Dia ditahan di Sorong, dijaga oleh marinir Belanda. Dia lolos dari penjara, tapi tertangkap juga. Di Hollandia dia dihukum 7 tahun penjara di Boven Digul. Bulan April 1960 dia dibebaskan, dibawa ke Pulau Gebe dan dari sana dijemput oleh orang Indonesia.
Tiba di Jawa Dimara sering dibawa oleh Presiden Soekarno ke rapat-rapat umum tentang mengembalikan Irian Barat ke pangkuan Ibu Pertiwi. Soekarno memuji-muji Dimara sebagai penyusup yang sukses ke Irian, padahal menurut keadaan sebenarnya Dimara sama sekali tidak berhasil dalam misinya.
Fritz Kirihio, lahir di Serui tahun 1934, adalah orang Papua pertama yang menempuh pendidikan Belanda, mulai dari sekolah desa di Japen di zaman Jepang hingga Universitas Leiden di mana dia belajar ilmu sosiologi. Belanda hendak mengadakan pemilihan umum di mana dipilih anggota Nieuw Guinea Raad. Fritz kembai sebentar ke Irian dan bulan Agustus 1961 mendirikan partai politik bernama Partai Nasional (Parna). Tujuan Parna ialah mempersiapkan kemerdekaan Papua dalam tahun 1970.
Setelah Presiden Soekarno mengucapkan pidato Trikora tanggal 19 Desember 1961, Fritz ditugaskan oleh pimpinan Parna untuk pergi ke Jakarta menemui pemimpin-pemimpin RI. Sebagai mahasiswa di negeri Belanda Fritz berteman baik dengan Kol Panjaitan, atase militer di KBRI Bonn. Dengan bantuan Panjaitan yang memberikan paspor Indonesia kepada Fritz tibalah Fritz di Jakarta. Dia bertemu dengan Jenderal A.H. Nasution di rumahnya di Jalan Teuku Umar. Dari sana dia dibawa ke Istana Bogor bertemu dengan Presiden Soekarno. “Fritz, saya tidak punya keberatan apa-apa terhadap orang-orang Papua, kalian adalah saudara-saudara kami, tapi orang Belanda harus pergi. Kalau kalian mau merdeka, kalian akan mendapatkannya dari saya, dan bukan dari orang-orang Belanda,” kata Soekarno.
Ketika Menlu Dr. Subandrio berunding di Washington dengan Van Royen tentang konflik Irian Barat di mana diplomat AS Ellsworth Bunker jadi perantara, dia mengundang Fritz Kirihio ikut serta, untuk memberikan nasihat tentang keadaan Papua, tentang bagaimana mengadakan plebisit di Irian nanti, apakah secara langsung ataukah melalui perwakilan? Pada penyerahan Irian oleh pihak Belanda kepada badan PBB UNTEA tanggal 1 Oktober 1962, Fritz berada di Hollandia. Subandrio memanggil kembali Fritz dan selama 9 bulan bekerja untuk Subandrio. Fritz dibawa serta oleh Subandrio ke RRT yang waktu itu bersengketa dengan India. Subandrio memperkenalkan Fritz kepada Mao Tse-tung. Orang ini dari Irian Barat, kata Subandrio. Mao menganggap hal itu menarik rupanya, lalu digenggamnya erat-erat tangan Fritz. Mao menghadiahkan buku karya lengkapnya, tiga jilid, kepada Fritz dan menuliskan huruf Kanji di dalamnya.
Apa artinya itu? tanya Fritz. Seorang juru bahasa bilang “Berbahagialah dalam hidup Anda.” Harapan Mao itu sayang tidak terlaksana, kata Fritz. Ketika Presiden Soekarno mengunjungi Irian Barat untuk pertama kali tanggal 4 Mei 1963 Fritz berdiri di Pelabuhan Kotabaru menyambutnya. Fritz juga hadir ketika Gubernur Irian Barat Bonay mengunjungi Presiden Soekarno pertama kali di Jakarta. Soekarno mengeluarkan dekrit presiden mengenai otonomi khusus untuk Irian Barat. Itu tak pernah dilaksanakan, dan itulah salah satu alasan kenapa rakyat Papua kini tidak mau tahu suatu apa tentang otonomi khusus, kata Fritz Kirihio.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar